Sabtu

Kelenteng Boen Tek Bio, Saksi Sejarah Kota Tangerang dan Cina Bentengnya

Berbicara tentang Kelenteng Boen Tek Bio tidak terlepas dari sejarah Kota Tangerang dan keberadaan orang Tionghoa di Tangerang. Walaupun umurnya sudah lebih dari 300 tahun, klenteng ini masih tetap berdiri kokoh.

Jika ditanya kapan berdirinya Kelenteng Boen Tek Bio? Pastinya belum ada orang yang bisa memastikannya. Diperkirakan, Kelenteng Boen Tek Bio berdiri sekitar tahun 1684. di masa itu, para penghuni perkampungan Petak Sembilan secara gotong-royong mengumpulkan dana untuk mendirikan sebuah kelenteng yang diberi nama Boen Tek Bio (Boen=Sastra Tek=Kebajikan Bio=Tempat Ibadah).

Bio yang pertama berdiri diperkirakan masih sederhana sekali yaitu berupa tiang bambu dan beratap rumbia. Awal abad ke-19 setelah perdagangan di Tangerang meningkat, dan umat Boen Tek Bio semakin banyak, kelenteng ini lalu mengalami perubahan bentuk seperti yang bisa dilihat sekarang.

Sebagai tuan rumah kelenteng ini adalah Dewi Kwan Im. Selain Dewi Kwan Im di sebelah kiri dan kanan kelenteng ini juga dibangun tempat untuk dewa-dewa lain.
Berbicara tentang Kelenteng Boen Tek Bio, yang memiliki nama lain Padumuttara, tidak terlepas dari sejarah Kota Tangerang dan keberadaan orang Tionghoa di Tangerang. Boen Tek Bio adalah kelenteng tertua di kawasan permukiman Cina, di Pasar Lama.

Kelenteng ini juga diketahui merupakan bangunan paling tua di Tangerang sekaligus menjadi saksi sejarah bahwa orang-orang Cina sudah berdiam di Tangerang lebih dari tiga abad.

Warna merah mendominasi

Menurut salah seorang umat yang identitasnya tak ingin disampaikan, Kelenteng Boen Tek Bio sudah beberapa kali mengalami pemugaran. Maklum saja, bangunan ini usianya sudah lebih dari tiga ratus tahun. Sebagai informasi saat ini, Kelenteng Boen Tek Bio tengah mengalami pemugaran untuk bagian lantai.

Bangunan kelenteng banyak didominasi oleh warna merah. Mulai dari pilar-pilar penyangga hingga warna dinding, semuanya serba merah. Di bagian atap luar, hiasan naga sebagai simbol kesucian terpasang dengan apik. Kata sumber tadi, naga adalah hewan suci yang kehadirannya membawa kebahagian.

Meski usianya tak lagi muda, kelenteng ini masih menyimpan peralatan ibadah yang umurnya juga sudah cukup tua. Peralatan-peralatan tersebut antara lain atap kayu bagian dalam, genta, dan hiolo, ketiganya dibuat pada tahun 1805. Sementara itu, dua buah tungku yang dibuat dari roda kereta pada 1910 juga masih aktif digunakan umat untuk beribadah.

Kelenteng Boen Tek Bio berada di lingkungan pasar. Di sisi kanan dan kiri, berjajar banyak pedagang yang menghiasi pemandangan di sekitar kelenteng.
Bangunan utama kelenteng berada di bagian tengah. Selain bangunan utama, Kelenteng Boen Tek Bio – jika digambarkan berbentuk leter U – juga memiliki beberapa ruangan lain. Denah kelenteng ini, bangunan utama dikelilingi oleh delapan ruang peribadatan.

Sebagai tempat ibadah, tiap ruang tentu memiliki makna. Tapi Kelenteng ini juga masih memiliki dua buah lorong yang memiliki arti tersendiri dalam prosesi peribadatan, yakni Pintu Kesusilaan dan Jalan Kebenaran. Kedua lorong ini memiliki arti yang cukup dalam. Meski sederhana, kedua lorong itu mengajak umat untuk selalu berbuat kebaikan dan hidup di jalan yang benar.

Hidup dari sumbangan

Masih menurut sumber tadi, untuk urusan sehari-hari, Kelenteng Boen Tek Bio dikelola oleh sekitar 20 orang pengurus. Mereka bertugas menjaga dan merawat kelenteng. Ketika ditanya dari mana asal dana untuk mengelola kelenteng? Sang sumber menjawab, dari sumbangan umat. Memang kelenteng ini hidup dari sumbangan umat. Entah untuk perawatan, pemugaran, bahkan untuk ibadah.

Dari sebuah prasasti yang ada di kelenteng ini, tertulis nama-nama orang yang pernah menyumbang untuk kelenteng. Jika dihitung, jumlahnya lebih dari 1000 orang. Penulisan nama-nama tadi sudah dimulai sejak kelenteng ini ada.

Pada perayaan Imlek, Kelenteng Boen Tek Bio selalu ramai. Terutama pada tanggal 1 dan 15 imlek. Umat berbondong-bondong datang dan bersembahyang di kelenteng ini.

Sumber tadi juga mengutarakan, untuk perayaan Imlek, pengurus kelenteng tidak menyiapkan sesuatu hal yang mewah. Semuanya biasa saja. Kata sumber tadi, biasanya umat yang menyiapkan pesta perayaan Imlek.

Etnis Tionghoa di Tangerang

Dalam kitab sejarah Sunda yang berjudul "Tina Layang Parahyang" (Catatan dari Parahyangan) disebut tentang kedatangan orang Tionghoa ke daerah Tangerang. Kitab tersebut menceritakan tentang mendaratnya rombongan Tjen Tjie Lung (Halung) di muara sungai Cisadane yang sekarang diberi nama Teluk Naga pada tahun 1407. Pada waktu itu pusat pemerintahan ada di sekitar pusat kota sekarang, yang diperintah oleh Sanghyang Anggalarang selaku wakil dari Sanghyang Banyak Citra dari Kerajaan Parahyangan. Perahu rombongan Halung terdampar dan mengalami kerusakan juga kehabisan perbekalan. Daerah tujuan yang semula ingin dikunjungi adalah Jayakarta.

Rombongan Halung ini membawa tujuh kepala keluarga dan di antaranya terdapat sembilan orang gadis dan anak-anak kecil. Mereka kemudian menghadap Sanghyang Anggalarang untuk minta pertolongan. karena gadis-gadis yang ikut dalam rombongan itu cantik-cantik, para pegawai Anggalarang jatuh cinta dan akhirnya kesembilan gadis itu dipersuntingnya. Sebagai kompensasinya, rombongan Halung diberi sebidang tanah pantai utara Jawa di sebelah timur sungai Cisadane, yang sekarang disebut Kampung Teluk Naga.

Gelombang kedua kedatangan orang Tionghoa ke Tangerang diperkirakan terjadi setelah peristiwa pembantaian orang Tionghoa di Batavia tahun 1740. VOC yang berhasil memadamkan pemberontakan tersebut mengirimkan orang-orang Tionghoa ke daerah Tangerang untuk bertani. Belanda mendirikan pemukiman bagi orang Tionghoa berupa pondok-pondok yang sampai sekarang masih dikenal dengan nama Pondok Cabe, Pondok Jagung, Pondok Aren, dan sebagainya.

Di sekitar Tegal Pasir (Kali Pasir) Belanda mendirikan perkampungan Tionghoa yang dikenal dengan nama Petak Sembilan. Perkampungan ini kemudian berkembang menjadi pusat perdagangan dan telah menjadi bagian dari Kota Tangerang. Daerah ini terletak di sebelah timur sungai Cisadane, daerah Pasar Lama sekarang.

Masyarakat keturunan Tionghoa masih bertahan di Kota Tangerang. Keberadaanya telah membaur dengan warga lokal yang selanjutnya memberi warna baru dalam kegiatan hidup bermasyarakat di daerah ini. Saling bahu membahu, mereka turut membangun kota Tangerang hingga menjadi besar seperti sekarang ini.

aditOstudio mengatakan...

bagus liputannya..
saya sempat jalan jalan kesana, silahkan di lihat di blog saya juga. snap shotnya