Sabtu

Pembiayaan Kesehatan dan Kenaikan Harga BBM / Oleh: Dr Widodo Judarwanto SpA

Dalam keadaan ekonomi yang lagi carut marut ini tampaknya masyarakat harus menyikapi dengan tepat. Sikap cerdas yang harus dilakukan adalah berpola pikir dan pola tindak ekonomis untuk menyikapinya. Strategi yang paling sederhana adalah melakukan penghematan di segala bidang, termasuk di bidang kesehatan.

“Kesehatan adalah mahal harganya”, ungkapan tersebut terasa sangat tepat di saat ekonomi Indonesia yang lagi mendapat cobaan ini. Bayangkan untuk mengeluarkan biaya jasa dokter, khususnya dokter spesialis masih belum terjangkau oleh sebagian masyarakat. Belum lagi harga obat yang cukup mahal dan harganya pasti akan semakin menggila.

Ditambah lagi dengan beban biaya pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologis, pemeriksaan patologis dan pemeriksaan penunjang lainnya akan semakin tidak terjangkau. Biaya akan semakin melangit bila pasien divonis rawat inap atau operasi.

Perekonomian Indonesia terguncang akibat kenaikan harga BBM ditambah lagi dengan masalah perekonomian global yang diwarnai kenaikan harga komoditas dan resesi ekonomi dunia. Beban ekonomi yang sangat berat secara bersamaan inilah juga membuat beban yang sangat menyakitkan bagi masyarakat. Tampaknya masyarakat Indonesia terpaksa harus menelan pil pahit fenomena alam ini tanpa punya daya untuk menolaknya.

Adalah wajar bagi seorang manusia akan tercabik emosi, rasa amarah, kesal dan apriori terhadap kebijaksanaan pemerintah dalam menaikkan harga BBM. Secara tidak disadari hal itu juga merupakan pemborosan emosi dan hanya menambah beban psikologis.

Beban psikologis ini tidak diasadari akan menimbulkan masalah baru bagi kehidupan melebihi pengaruh langsung kenaikkan harga BBM itu sendiri. Keterlibatan konflik kontroversi pro kontra kenaikan harga BBM, tidak akan berujung solusi. Konfrontasi politik dan sosial tanpa pemikirang jernih akan menimbulkan anarkisme, pelanggaran etika dan aturan hukum yang ada, Perilaku ini akan menimbulkan ongkos sosial politik yang tidak ringan melebihi pengaruh kenaikkan harga BBM itu sendiri.

Jalan terbaik dalam menyikapi beban psikologis ini adalah melakukan tindakan mawas diri, berpikiran jernih dan positif. Secara sadar manusia harus menerima fakta dan fenomena alam bahwa sumber energi bumi akan berkurang dan akan semakin mahal.

Meskipun sulit, secara jangka panjang manusia harus berinovasi dalam bertehnologi untuk menyikapinya. Jangka pendek tindakan logis yang dapat dilakukan adalah melakukan tindakan mawas diri dalam mengantisipasi terjadinya kenaikkan berbagai harga barang.

Mawas diri itu adalah melakukan pengkajian ulang berbagai perilaku hidup boros dan tidak efisien yang selama ini dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Saat ini setiap orang pasti akan melakukan kalkulasi ekonomi yang sangat cermat dalam setiap rupiah yang dikeluarkan. Prioritas pun harus disusun dengan teliti, berdasarkan kebutuhan pokok, kebutuhan tambahan atau kebutuhan konsumtif. Tidak terkecuali di bidang kesehatan, secara tidak disadari selama ini dalam kehidupan sehari-hari terjadi pemborosan dalam pembiayaan kesehatan.

Pemborosan Masyarakat

Menurut Survey Kesehatan Nasional (Surkesnas) tahun 2004, sumber dana pengeluaran biaya kesehatan 86% berasal dari penghasilan ekonomi keluarga. Sedangkan sisanya berasal dari asuransi, instansi tempat bekerja, puskesmas atau jaminan kesehatan bagi penduduk tidak mampu. Pemborosan di bidang kesehatan dapat dilakukan oleh masyarakat atau kalangan medis sebagai penyelenggara pelayanan medis.

Dalam masyarakat perilaku penghematan yang bisa ditekan adalah pola konsumsi vitamin atau suplemen, perilaku berobat ke luar negeri, terapi alternatif yang unconvensional dan kebiasaan sakit ringan harus selalu ke dokter.

Masyarakat seharusnya dapat menghemat pengeluaran biaya kesehatan, khususnya dalam pengeluaran biaya pembelian vitamin atau bahan nutrisi lain. Secara medis sebenarnya dalam kondisi tubuh sehat dan tercukupi kebutuhan nutrisi melalui makanan yang bergizi setiap harinya kebutuhan nutrisi tambahan berupa vitamin dan suplemen tidak terlalu penting.

Konsumsi vitamin dan suplemen mutrisi merupakan potensi bisnis yang luar biasa di masyarakat. Bagi perusahaan multi nasional atau lokal bahkan secara individu banyak masyarakat yang terlibat dalam bisnis Multi Level Marketing berlomba mengeruk rupiah dalam bisnis menggiurkan ini.

Persaingan bisnis yang tidak sehat akhirnya tejadi. Banyak masyarakat yang terbuai rayuan maut kehebatan vitamin atau suplemen nutrisi yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Latar belakang yang tidak ilmiah dalam indikasi penggunaan vitamin atau suplemen nutrisi ini akhirnya mengakibatkan pemborosan dalam pengeluaran biaya kesehatan.

Masyarakat harus mengetahui kapan harus berobat ke dokter. Kebiasaan sakit pilek dan batuk ringan harus segera ke dokter mungkin bisa dikurangi. Juga sangat penting harus tahu kapan ke dokter umum atau harus berobat ke dokter spesialis.

Pilihan jenis rumah sakit pun harus jadi pertimbangan yang tak kalah penting, mulai dari rumah sakit pemerintah atau rumah sakit yang paling megah. Biaya tinggi kesehatan tidak harus mencerminkan hasil yang optimal. Penggunaan terapi alternatif yang “unconvensional” dan tidak terbukti secara ilmiah ternyata terbukti hanya menimbulkan “lost cost” dalam pembiayaan pengobatan.

Perilaku berobat ke luar negeri harus lebih dipertimbangkan. Ternyata sebagian besar indikasi berobat ke luar negeri bukan karena keterbatasan sarana medis atau kopetensi dokter. Latar belakang berobat ke luar negeri pada umumnya tampaknya hanya masalah gengsi, ketidaktahuan atau masalah komunikasi antara dokter dan pasien.

Potensi biaya tinggi

Pengeluaran di bidang kesehatan pun harus dibuat secara cermat dengan perhitungan yang tepat. Bila ditinjau dari segi medis sebenarnya banyak hal yang masih bisa dilakukan penghematan atau pengurangan biaya tinggi dalam setiap transaksi pelayanan medis. Upaya ini harus melibatkan kerjasama dan komunikasi yang baik antara pasien sebagai pengguna jasa medis dan dokter atau rumah sakit sebagai penyedia jasa medis.

Pasien sebagai pengguna jasa medis mempunyai hak untuk mengetahui rencana pengobatan, maksud dan tujuan setiap jenis pengobatan atau tindakan medis. Selain menyangkut keselamatan atau kesehatan pasien juga sangat berkaitan dengan pertimbangan biaya.

Dokter atau Rumah Sakit sebagai penyedia layanan jasa medis juga mempunyai hak dan kewajiban terhadap pasiennya. Hak yang dimiliki seorang dokter adalah menentukan setiap jenis pengobatan atau tindakan medis secara mandiri tanpa intervensi atau pengaruh pihak tertentu. Tindakan ini harus berdasarkan latar belakang medis yang harus disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan penderita dengan mengutamakan kepentingan dan kesembuhan pasien.

Pasien yang kurang memahami sisi medis dengan baik, harus mengetahui potensi biaya tinggi yang akan dihadapi selama dalam proses pengobatan. Dokter juga harus mempertimbangkan setiap rencana pengobatan dan tindakan medis dengan menjauhkan potensi biaya tinggi pengobatan terhadap pasiennya. Potensi biaya tinggi pengobatan tersebut dapat terjadi dalam cara pemilihan jasa layanan medis, pengobatan atau tindakan medis.

Potensi lain yang beresiko terjadi biaya tinggi adalah pemilihan jenis obat. Obat generik tampaknya harus jadi pertimbangan utama. Promosi dan informasi yang benar tentang efektifitas dan keampuhan obat generik harus didukung oleh pihak dokter dan rumah sakit.

Pemakaian antibiotika merupakan salah satu jenis potensi biaya tinggi yang dihadapi pasien. Ironisnya banyak penelitian dan kajian ilmiah yang menunjukkan bahwa pemakaian antibiotika semakin jauh dari indikasi yang tepat. Misalnya, sakit flu atau ingus warna kuning ataun hijau harus diberi harus antibiotika yang canggih dan mahal.

Sayangnya asumsi ini diterima tidak benar oleh pasien, bahwa bila tanpa antibiotika penyakitnya akan lebih lama sembuh. Budaya salah kaprah ini mengakibatkan fenomena pemberian antibiotika irasional dalam masyarakat.

Biaya tinggi lain yang dihadapi pasien adalah biaya rawat inap di rumah sakit. Potensi awal yang dihadapi pasien adalah keputusan perlunya rawat inap. Tampaknya semakin banyak keluhan pasien terungkap bahwa dokter terlalu cepat mengambil keputusan untuk merawat pasien.

Untuk mengurang resiko biaya tinggi sebaiknya indikasi rawat inap harus lebih cermat dan selektif diberikan terhadap pasien. “Gejala tifus” adalah merupakan diagnosis kontroversial yang sering menjadi alasan rawat inap. Setelah pasien divonis rawat inap, lebih banyak lagi resiko biaya tinggi yang dihadapi seperti pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologis dan pemeriksaan lainnya.

Pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya merupakan biaya sangat tinggi yang akan dihadapi pasien. Pemeriksaan tersebut meliputi pemeriksaan laboratorium, radiologis, patologis dan pemeriksaan lainnya. Pemeriksaan laboratorium atau pemeriksaan darah sangat bervariasi jenis dan kepentingan medisnya. Sedangkan pemeriksaan radiologis seperti foto rontgen, ultrasonografi, CT Scan, MRI dan sebagainya.

Dokter sebaiknya sangat selektif untuk menentukan indikasi dan jenis pemeriksaan tambahan yang harus dilakukan terhadap pasiennya. Kalaupun harus melakukan pemeriksaan laboratorium, memang harus diperlukan dan demi kepentingan pengobatan. Sebenarnya, dengan melakukan anamnesa (interview) riwayat penyakit pasien yang lengkap serta melakukan pemeriksaan fisik yang cermat secara, medis 75% hingga 80% diagnosis penyakit bisa ditegakkan.

Potensi terbesar untuk terjadinya biaya tinggi pengobatan adalah tindakan medis operasi. Selayaknya dokter memberikan vonis operasi setelah melakukan evaluasi ilmiah secara cermat dan teliti. Hal ini dilakukan setelah upaya pengobatan atau tindakan medis lain memang tidak memungkinkan.

Hak Pasien

Pasien sebagai konsumen aktif jasa kesehatan mempunya hak yang harus diperhatikan oleh dokter atau rumah sakit. Hak utama yang dimiliki pasien adalah harus mengetahui secara jelas dan lengkap rencana pengobatan, jenis serta tujuan pengobatan dan tindakan yang akan diberikan dokter kepada pasiennya.

Selain itu pasien harus mengetahui terlebih dahulu perkiraan biaya obat-obatan, pemeriksaan laboratorium atau tindakan medis lainnya. Bila biaya tersebut dirasakan memberatkan, sebaiknya pasien mengkomunikasikannnya dengan terbuka dan jujur kepada dokter. Apakah pengobatan, pemeriksaan atau tindakan itu mutlak diperlukan. Apakah tidak ada upaya lain atau sementara bisa ditangguhkan.

Hak penting lain yang dipunyai pasien adalah hak mendapatkan pendapat kedua (second opinion) dari dokter lainnya. Untuk menghindari biaya tinggi, pasien tidak usah ragu untuk mendapatkan “second opinion” tersebut.

Memang biaya yang dikeluarkan akan menjadi banyak, tetapi paling tidak bermanfaat untuk mengurangi kemungkinan biaya lebih besar lagi yang akan dialaminya. Misalnya, pasien sudah divonis operasi caesar atau operasi usus buntu tidak ada salahnya melakukan masukan pendapat dokter lain.

Dalam melakukan “second opinion” tersebut, sebaiknya dilakukan terhadap dokter yang sama kompetensinya. Misalnya, tindakan operasi caesar harus minta “second opinion” kepada sesama dokter kandungan bukan ke dokter umum. Atau, bila pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan dokter sangat banyak dan mahal, tidak ada salahnya minta pendapat ke dokter lainnya.

Sebagai penyedia jasa, profesionalitas dokter sangat menentukan dalam mengurangi biaya tinggi pengobatan. Ilmu dan tehnologi kedokteran atau kesehatan berkembang demikian pesat. Hal ini harus diikuti oleh para dokter di Indonesia, baik melalui pendidikan tambahan berkala. Keterbelakangan serta ketinggalan dalam informasi dan pengetahuan seorang dokter akan menimbulkan biaya tinggi yang akan diterima pasien.

Beberapa pakar kedokteran terdahulu berpendapat profesi dokter adalah seni. Jadi tidak perlu heran bila satu dokter dengan dokter yang lain kadang berbeda dalam pola penanganan penderita. Meskipun kapasitas ilmu yang dimiliki hampir sama, tetapi kadang pola pikir, pendekatan diagnosis, logika dan terapan ilmiahnya sedikit berbeda. Tetapi apapun perbedaan tersebut, dokter adalah profesi yang luhur.

Dokter sebagai tenaga profesional yang sangat bersentuhan dengan nilai kemanusiaan, harus memperhatikan nila-nilai luhur profesi. Dalam melakukan pengobatan atau tindakan medis tidak hanya mempertimbangkan sisi medis, tapi harus mengutamakan kepentingan pasien khususnya pertimbangan ekonomi.

Beban ini harus diemban dokter dalam pengabdiannya kepada masyarakat khususnya dalam menghadapi beban ekonomi saat ini. Bila bepolapikir ilmiah dan cerdas ternyata untuk sehat tidak selalu harus mahal. Biaya tinggi pengobatan tidak harus selalu mencerminkan hasil yang optimal dalam layanan medis. Bila hal ini dilakukan banyak rupiah yang hilang percuma bisa dihindarkan.(www.pdpersi.co.id)